Aku mengerjapkan mata berulangkali ketika sinar matahari pagi menerobos masuk melalui kisi-kisi ventilasi. menyilaukan saat sinar-sinar itu menusuk mataku laksana kilatan-kilatan pedang cahaya. Aku menggeliat bangun. Bantal dan kain sarungku entah kemana, sprei alas kasur tak karuan rupanya. acak-acakan. Aku menguap, kantuk yang masih menggelayuti mata seketika sirna ketika suara emak yang berpidato dengan lantang ditelinga terdengar membahana. Suara emakku lantang, bagai seorang orator ulung yang tengah menyuarakan aspirasinya ditengah ribuan khalayak ramai. Menggelegar memekakkan telinga.
"Bujang! bangun! Masya Allah....mau jadi apa kau nanti kalau setiap hari bangun siang?! emak murka. ditariknya sprai lalu dikebut-kebutkan ditepi ranjang. "kau tak lihat matahari telah tinggi? orang sudah kemana-mana mencari rezeki tapi kau masih berkutat dengan bantal dan mimpi...! mengapa kau tak pergi saja ikut kakakmu di jakarta atau di Belitung sana cari kerja..! kalau begini terus-terusan mana mau perempuan dinikahi oleh pemuda pemalas sepertimu...!" emak terus menggerutu sembari menyapu.
Aku duduk ditepi pembaringan, kepalaku pusing. Selalu begitu, setiap pagi emak menceramahiku. Aku bangun dari tempat tidur, menuju kamar mandi. membasuh wajahku lalu menyikat gigi dengan malas-malasan. keluar dari kamar mandi aku menuju meja makan. Dibawah tudung saji hanya kutemui secangkir kopi dingin. "Mak..tak adakah yang bisa kusantap sebagai pengganjal perut pagi ini?" Emak kembali murka mendengar pertanyaanku. "Sana pergi..! beli sendiri diwarung apa yang bisa kau makan..! sergahnya.
Aku menyadari, pagi ini bukanlah pagi yang indah buatku. Emak sedari pagi marah-marah. Demi menghindari ocehan yang tak akan selesai sebelum aku pergi maka kuputuskan untuk langsung angkat kaki. Tersaruk-saruk aku menuju warung. motor-motor berseliweran. Orang-orang lalu lalang. Suara bergemuruh dari pesawat Merpati yang terbang melintas tepat di atas kepalaku membuat kepalaku tambah pusing. AQku menatap nanar. Dunia dimataku saat itu teramat membosankan dan menjemukan. Monoton. dari hari-kehari tak ada sesuatu yang baru yang kutemui.. paling-paling terdengar berita si A diterima bekerja di sebuah instansi, atau si B yang baru saja membeli sebuah sepeda motor. Aku mengeluh, menggerutu karena tak ada perubahan yang baru dari hidupku. Dunia dimata seorang pengangguran memang sangat memilukan, kawan!
Aku menuju warung. Orang-orang banyak berkumpul disitu. dibawah sebatang belimbing asam yang menjadi pangkalan persatuan ojek di tempatku tinggal. Mereka semua kukenal dengan baik. Aku duduk didekat mereka lalu tenggelam dalam obrolan yang tak tentu arah. Mereka tertawa-tawa seolah-olah tak ada yang patut ditangisi dalam hidup mereka, meski kadang nyata kulihat dibalik bola mata dan wajah mereka yang kecoklatan karena terlalu sering terkena sengatan sinar matahari, kepedihan kerap membaerangus leher-leher mereka dalam beban mesti memenuhi kebutuhan hidup dengan susah payah. Ah, aku teramat malu dengan diriku sendiri.
Agusta menepuk pundakku. "Apa yang kau renungkan, kawan?" tegurnya ramah dengan sorot mata jenaka. "Apakah kau berminat menjadi seperti kami? berburu rezeki dengan kuda-kuda besi ini?" katanya kembali sambil menunjuk beberapa motor yang terparkir tak jau dari pohon belimbing, tepat didepanku.
"maksudmu Gus, apakah aku berminat jadi tukang ojek?"
Agusta mengangguk, mengiyakan.
"Aku tak bisa Gus...aku tak memiliki bakat." jawabku sekenanya. padahal aku tahu pekerjaan tukang ojek tak membutuhkan bakat khusus. Cukup bermodalkan sepeda motor dan kemahiran dalam mengendarainya. itu sudah cukup memenuhi syarat. Tapi aku benar-benar tak bisa. Aku malu.
"Apa yang tak bisa bagimu kawan..? kau pasti malu?" Agusta dapat membaca pikiranku. Aku tersenyum tersipu malu.. hambar. "asal halal segala pekerjaan tak jadi soal bung, yang penting kita bisa menghidupi anak-istri, mencari rezeki itu gampang kok asal kita ada kemauan dan tekad. Apa kau tak bosan menjadi pengangguran? menyusahkan orang tua, bangun siang, menghabiskan hari tanpa tujuan. sungguh malang hidupmu kawan! kau kan tahu, mencari pekerjaan yang enak itu sulit apalagi untuk kita yang hanya memiliki ijazah SMA...jangan bermimpi bung..!"
Aku tercenung. Aku ingin marah tapi kurasakan ada nada kebenaran yang terkandung dalam ucapan pria berjaket lusuh itu. Dibalik wajahnya yang jenaka. Dari sorot bola matanya yang berwarna coklat dapat kutangkap makna yang tersirat : "bergabunglah bersama kami kawan...kita dapat menggapai mimpi dengan kuda-kuda besi nan gagah berani ini...yakinlah!
bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar