Lihat, dengar dan rasakan

Foto saya
Palembang, sumatera selatan, Indonesia
Aku adalah aku.. apa perdulimu?

Sabtu, 03 April 2010

Di Ujung Dunia

kuda-kuda besi (cerita 8) : Di Ujung Dunia

seandainya putaran roda waktu dapat kembali menggelinding kebelakang, maka aku akan meminta untuk dikembalikan saja ke masa lalu dimana aku berada diujung dunia...

aku merindukan saat-saat dimana aku menghabiskan masa kecilku bersama para sahabat, merajai hari dan menantang terik matahari. Aku merindukan suara merdu kicau burung-burung, jeritan kera-kera didahan pepohonan kayu gelam, rawa-rawa dan pepohonan yang menghijau. jalanan becek dan berlobang yang seperti kubangan lumpur apabila musim penghujan datang dan lapangan bola tempat kami menghabiskan hari.

Aku merindukan lapangan bola tempat kami bermain semasa kecil, belajar bersepeda, bermain kasti, bermain perang-perangan, berkelahi dan memenuhi hari-hari dengan tangis dan canda tawa.

perumahan komplek PdK tempat kami tinggal mungkin adalah komplek perumahan pertama yang dibangun dikota Palembang. berjarak lebih kurang 12 KM dari pusat kota dan berada disebelah timur bandara Talang Betutu, komplek kami terkucil dengan buruknya akses jalan yang menghubungkan kami dengan dunia luar.Dari bandara komplek kami hanya berjarak beberapa kilometer saja dari landasan pesawat. maka tak perlu heran bila tiap satu jam sekali akan terdengar suara bergemuruh memekakkan telinga diatas langit, tepat diatas rum$ah-rumah kami. lalu bayangan besar menyerupai burung raksasa terbang melintas menembus awan tepat diatas kepala kami.

Pesawat Garuda, Merpati, dan berbagai jenis pesawt lainnya telah kami hafal bentuk dan warnanya karena saking seringnya kami melihat pesawat-pesawat tersebut melintas terbang rendah dilangit perumahan kami.Ironisnya aku belum pernah merasakan duduk didalam pesawat itu meski hanya lewat mimpi sekalipun. Bila kebetulan kami tengah bermain dilapangan dibelakang mesjid, kami lalu akan berteriak-teriak seperti orang gila dan melambai-lambai pada pesawat yang hendak turun atau take off. saat kita tengah berbincang pada saat pesawat melintas maka dijamin suara kita tak akan terdengar satu sama lain karena kalah oleh suara bergemuruh mesin pesawat yang kebetulan melintas.saking dekatnya kami dapat melihat roda-roda, dan bagian bawah pesawat dengan jelas. bila ada anak-anak yang tengah bermain layangan, mungkin layangan itu bisa tersangkut disalah satu bagian pesawat! sebuah pemikiran konyol tentunya.


Di ujung dunia inilah kami tinggal. tempat yang dulu acapkali disebut orang tempat jin 'membuang anak'. lebih kurang 26 tahun kami hidup berdampingan sebagai tetangga, handai-tolan, dan kawan sepermainan, kami seolah tumbuh menjadi satu keluarga besar.

Dalam kurun waktu dua puluh enam tahun tersebut telah banyak suka duka yang kami alami bersama.Telah banyak yang datang dan pergi diantara kami, para orangtua, saudara, dan sahabat-sahabat lama, sedih dan tawa silih berganti menghiasi kehidupan kami di ujung dunia ini. Yang dulunya masih anak-anak kini banyak yang sudah punya anak. yang dulunya hidup sederhana kini telah menjadi kaya raya. yang dulunya hidup bergelimang harta dan kini menjadi serba kekuranganpun ada.

Segala jenis profesi terwakili disini, diantara kami. Pejabat pemerintahan, pegawai PU, pegawai kejaksaan, polisi, pengacara, petugas PLN, pensiunan pegawai negeri, tukang sayur, kepala sekolah, guru, sopir taksi, anggota dewan, buruh pabrik, tukang bangunan, ustadz, pengangguran, semua ada disini. Kami hidup rukun sebagai tetangga, hidup dengan kebersamaan dan toleransi yang tinggi terhadap satu sama lain. bahu-membahu apabila tengah mengadakan satu hajatan atau peringatan agustusan,kegiatan hari besar keagamaan dan sebagainya. mungkin itulah yang dinamakan keanekaragaman, kawan. perbedaan asal kampung halaman, bahasa daerah, watak,dan status ekonomi justru menjadi bumbu penyedap dalam kehidupan kami di ujung dunia ini.

Komplek perumahan kami sungguh tersudut, dan terletak dipinggiran kota. dikelilingi rawa dan hutan kecil dengan pepohonan besar yang banyak tumbuh memberi nuansa khas pedesaan yang teramat asri dan alamiah. bila hari beranjak petang maka akan terlihat dilangit sekawanan burung belibis yang terbang pulang kesarang. Saat malam datang keheningan akan terpecah dengan riuh rendah nyanyian jangrik dan binatang-binatang malam. Aku merindukan suasana itu kawan...

Aku duduk sambil memeluk lutut diatas dipan bamb,. dibawah naungan teduh pohon belimbing yang buahnya asam. Menatap jalan yang tak pernah sepi dari deru mesin kendaraan yang lalu lalang. Angin membelai wajahku dengan malu-malu, ahh...bayangan masa lalu itu kini memenuhi benak dan pelupuk mataku saat itu. kini semua telah benar-benar berubah ditempat ini. Tak ada lagi hutan-hutan kecil,suara-suara burung dan teriakan kera-kera yang bergelantungan didahan-dahan kayu gelam,tak ada lagi jalanan berlumpur dan berlobang-lobang, rawa-rawa tempat kami berenang dan mencari ikan, semua telah berganti dengan suasana perkotaan seiring berubahnya zaman. Lapangan bola tempat kami bermain igusur menjadi bangunan pabrik dan jalan raya yang menghubungkan pusat kota dengan bandara internasional Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang. Rawa-rawa ditimbun lalu didirikan SPBU dan pergudangan, lampu-lampu penerang jalan, papan iklan dan rambu-rambu. Rumah-rumah para tetanggaku pun tak mau kalah dengan perkembangan zaman. Mereka berlomba-lomba dalam bermegah-megah dan menyulap rumah mereka yang dulunya tipe 36 kini kebanyakan menjelma menjadi istana.

Bila dipotret dari atas langit, maka tampaklah perumahan di ujung dunia tempat kami bernaung selama kurang lebih dua puluh enam tahun ini telah diapit jalan raya yang melingkar dan bangunan pabrik yang dengan arogannya mencaplok sejengkal tanah tempat kami berdiri nyaman selama ini. Mungkin inilah bentuk nyata kekejaman kemajuan zaman. Arogansi tatanan kota dan kebijakan pemerintah. Disisi lain kami amat berterimakasih dengan lepasnya kami dari kesulitan akses kekota, disisi lain kami juga amat merindukan suasana alami tempat kami tinggal selama ini.

Dahulu, untuk menuju jalan raya kami harus menempuhnya dengan berjalan kaki karena sulitnya mencari alat transportasi. Lebih kurang 3 KM perjalanan kami tempuh dalam waktu hampir satu jam. Dan itu berlangsung beberapa tahun pada era 80-an.

Meski jauh dari keramaian kota, perumahan di ujung dunia tempat kami tinggal ini pernah juga diliput media. Itu terjadi sekitar tahun 1993. ketika salah satu rumah warga mengalami musibah kebakaran. Bahu-membahu kami memadamkan api sambil menunggu mobil pemadam kebakaran datang. Saat kami nyaris pasrah dan dicekam kepanikan yang luar biasa, pertolongan pun tiba. Lima unit mobil pemadam kebakaran, polisi, satuan Brimob, ABRI dan para wartawan dari berbagai media turut hadir disana. Aku ingat saat itu aku masih duduk dikelas satu SMP.

Perumahan kami yang biasanya hening kini menjadi ramai seperti pasar malam. teriakan-teriakan petugas, para warga yang bergotong-royong menjinakkan api memecah kedamaian malam. Para ibu-ibu dan anak-anak menangis. Akupun pada saat itu berdiri dengan lutut gemetaran. kami berkumpul tak jauh dari tempat kebakaran. Melihat api yang berkobar-kobar dan air yang disemprotkan dari selang-selang besar petugas pemadam kebakaran. Lampu kamera TV dari wartawan TVRI berkilat-kilat merekam kejadian dan sesekali mengarah kearah kami. Kami tersenyum kikuk lalu berusaha menghindarkan wajah dari sorotan kamera. salah seorang wartawan membawa mikrofon dengan logo TVRI lalu mendekati wak Ibrahim ketua RT kami saat itu untuk melakukan wawancara singkat perihal asal muasal kebakaran.

Aku yang saat itu tengah berkumpul dengan teman-temanku hanya melihat dari kejauhan. Kami berbincang-bincang dengan lirih. berbisik-bisik tak jelas. Salah seorang temanku bernama Kamad kemudian menghampiriku. Ia berbisik lirih ditelingaku.

"Dud...tak adakah niat dihatimu untuk menjadi terkenal?" bisiknya sambil menatapku. Aku mengernyitkan kening, tak mengetahui apa maksud dari arah pertanyaannya. Kamad lalu tertawa terkekeh. Ia menunjuk kearah wak Ibrahim yang tengah diwawancara dan disorot kamera. "Kalau kau ingin masuk televisi, gampang caranya kawan! kita cukup berdiri dibelakang wak Ibrahim maka dijamin wajah kita akan muncul ditelevisi besok...kita akan terkenal kawan! tahukah kau, berapa banyak pasang mata yang akan menonton kita dari televisi? jutaan kawan!! kita akan terkenal....!"

Aku menggelengkan kepala, menolak ide gila yang diusulkan bocah kurus itu. Kamad berupaya membujukku sambil menarik-narik tanganku tapi aku tetap menolak. Aku tak mau terlihat bodoh dan menjadi bahan tertawaan kawan-kawanku disekolah nanti apabila mereka menonton acara itu. Kamad menyerah. Ia lalu pergi meninggalkanku. Aku tak menghiraukannya lagi, aku bergegas pulang untuk membantu ibuku yang tengah mengumpulkan barang-barang berharga yang tadi sempat kami bungkus dengan kain seprai untuk berjaga-jaga seumpama kebakaran tadi merambat kerumah-rumah kami.

Api akhirnya bisa dijinakkan. meski kebakaran telah bisa diatasi para warga masih banyak yang berkumpul disekitar lokasi. sebagian ada juga yang kembali pulang kerumah masing-masing. ketegangan masih terpancar dari wajah-wajah kami. lelah dan ketakutan masih merayapi disekujur tubuh kami. Aku mencoba untuk tidur meski kerap bayangan api kebakaran yang terjadi barusan masih membekas dipelupuk mataku.

Keesokan harinya kami kembali melakukan aktifitas seperti biasa. diwarung-warung para warga masih banyak yang bercerita membahas kejadian semalam. Dimana-mana, tema kebakaran menjadi topik yang hangat untuk diperbincangan. Saat malam kembali menjelang aku berkumpul bersama keluargaku untuk menonton televisi. Acara TVRI siaran 'Berita Daerah' menjadi acara yang paling ditunggu-tunggu. pada saat Pembaca berita membacakan kejadian kebakaran semalam kami lantas membesarkan volume tv. lalu tampak wajah-wajah yang kami kenali terekam dan terpampang ditelevisi. Saat wak Ibrahim menghadap kamera sambil menerangkan perihal kebakaran aku melihat seraut wajah muncul dibelakang ketua RT kami tersebut. wajah anak kecil berusia dua belas tahun yang tampak tersenyum-senyum sendiri, sambil sesekali melambai-lambaikan tangan kearah kamera. Aku mengenalinya, Kamad! kami sekeluarga lalu tertawa terpingkal-pingkal melihat tingkah konyol dan bodoh temanku itu...untunglah aku tidak mengikuti ajakannya. kalau tidak, pastilah aku juga akan menjadi bahan tertawaan siapapun yang menontonnya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar