Lihat, dengar dan rasakan

Foto saya
Palembang, sumatera selatan, Indonesia
Aku adalah aku.. apa perdulimu?

Selasa, 14 Juni 2011

Menuju Muara..

Catatan kecil dibalik jeruji

Kawan,
Kutuliskan pada ingatan di akhir pekan
Tentang jalan-jalan yang tak pernah kita lewati
Tentang hujan airmata yang menggenangi

Kita berlari-lari
Menantang terik pagi
Kurus jemari memecah karang-karang mimpi
Meski perih tak terperi

Kawan,
Sebelum hari engkau bungkam dengan belati
mainkanlah sejenak lagu tanpa notasi
karena aku kan merindukanmu
juga nada-nada sendumu
dibalik jeruji besi…






Muara

Langkah telah bermuara
Diberanda senja engkau menyulam cerita
Tentang secangkir kopi tanpa gula
Atau asap tembakau dari cigaratte bermerek murah

Renta seumpama phobia
Bergelayut pada bahu
Lalu hinggap pada pundak yang tak lagi perkasa
Mendongengkan kisah –kisah
Yang kau catatkan pada buku setebal satu halaman saja…

Riak telah bermuara
Ditepiannya hijau dedaunan luruh
Ranting-ranting patah terseret pasrah
Jiwa yang rapuh menangis tersedu-sedu

Sebelum menutup mata
Sebelum candu menguap dalam paru-paru
Engkau katakan pada cahaya
Waktumu telah tiba dimuara..

Jumat, 10 Juni 2011

Caluk Bangka Slideshow

Caluk Bangka Slideshow: "TripAdvisor™ TripWow ★ Caluk Bangka Slideshow ★ to Palembang and Belitung Island. Stunning free travel slideshows on TripAdvisor"

Kamis, 09 Juni 2011

Sajak Basi Tentang kekalahan

TRILOGI : TENTANG KEKALAHANKU


Kepada waktu

Lambat laun musim-musim mengalun
Seiring masa yang tak jemu berganti wajah
Akulah dedaunan muda lalu menjelma tua
Menguning di ujung dahan patah

Ku diam tak beranjak
Berdiripun kaki tak berpijak
Bumi berotasi, berdansa pada matahari
Mengendap-endap lalu berlari

Telapakku kau sulap menjadi batu
Setitikpun tak ada yang kutinggalkan untukmu
Airmata menetes satu-satu
Beranak-pinak dalam muara waktu

Dalam kekalahanku yang pertama
Gemilang waktu menyeretku tanpa asa
Aku tumbang sendiri
Lalu terlupa dalam sejarah yang kau catatkan pada fana


Kepada Cinta yang pernah singgah

Cinta telah menyentuhku
Membelai hangat jiwa yang rapuh
Aku tergoda
Lalu jatuh pada pandangan pertama

Pada musim penghujan yang lalu
Kita tanam segenggam benih bunga rindu
Merayu bulan bagai benalu
Memuja purnama sepanjang jalan berliku

Cinta kita membuai raga
Pada langit kukabarkan bahagia
Hingga pada suatu senja
Kudapati mahkota yang kujaga telah terjamah

Aku membisu
Menangis tanpa isak, meski sesak
Benih cinta yang kutanam dahulu
Telah engkau injak-injak!

Kepada Tuhanku

Tuhan..
Bilamana kau izinkan
Maka perbolehkan aku sekejap saja
Atau bahkan mungkin untuk selamanya
Menghirup aroma wewangi surga
yang pernah Engkau janjikan
Pada setiap hamba

Debu pada wajah
Lumpur dosa mengalir dalam darah
Tak terkira hitamnya jiwa

Entah..
Apa bisa tanganku tengadah
Angkuhku tetap saja meraja
Meski bibir sekuat tenaga
Tak mampu kusebut namaMu diujung lidah

Ampuni aku, ya Allah..



Palembang, 9 Juni 2011

By : Dudi Irawan
Email : kudakudabesi@gmail.com
Facebook ; Duta Leonardo Dudikoff
Blog : www.kudakudabesi.blogspot.com

Sepenggal Kata Hati, kugoreskan disini...

Kata Hati Lewat Puisi...
oleh Duta Leonardo Dudikoff pada 31 Mei 2011 jam 21:25

aku tengadah pada langit malamku yang retak berserakan. rembulan pecah, bintang gemintang berlarian entah kemana. gelap merajai peraduan, imajinasiku tentang kehidupan dimasa yang akan datang menguap sebelum fajar datang. setiap saat ditikam rindu, yang entah akupun tak tahu pada siapa rindu mesti ku alamatkan. abu-abu dimataku, kelabu dalam dimensi dimana aku terjebak sepanjang waktu.



Aku terseok-seok meniti jalanan berduri, telapak kaki melepuh, jelaga diwajahku. lelah mendera. pada Tuhan kutanyakan makna hidupku untuk semesta, Tuhan pun membisu. angin telah menawarkanku pada seseorang nun jauh disana. jelita elok parasnya, halus budi pekertinya selayaknya peri khayangan yang ku impikan, ketika hendak kujamah sebentuk bayangnya, seketika itu pula aku meradang. kembali aku bercumbu pada semu.



bilamana aku bisa meminta, maka kan kuputar bola waktu kebelakang. aku jemu pada harapan kosong yang dijanjikan sang malam sewaktu kulelap dalam buaian. sungguh realita tak seindah Maya. tapi itulah warna yang seharusnya bisa aku tangkap dan kujadikan fatwa. sajak basi, puisi kosong tanpa arti lalu pena pun kehabisan tinta begitu pula lidah yang akhirnya kelu untuk bersumpah serapah atau sekedar menyampaikan salam pada kematian yang Engkau janjikan.



sampai dimana jejak kaki kan membekas? tanpa arah aku berlari-lari, sesaat berhenti, kutengok kebelakang tak ada siapa-siapa, aku tertinggal sendiri rupanya. sahabat-sahabat masa kecil, cinta yang pernah singgah atau impian-impian semusim yang pernah aku lukiskan pada senja tlah memudar lalu menguap tiba-tiba. aku sepi lalu senandungkan lagu sunyi. berdansa pada derita, terik memainkan orkestra kepiluan yang mendayu-dayu. keringat memercik didahiku, aku bersidekap rapuh, tak berkawan, tak punya masa depan, keheningan menjadi jubahku dalam perjalanan. dalam kekalutan yang bergemuruh, aku pasrahkan jiwa pada malaikat pencabut nyawa. aku diam, kekalahan dalam pergulatan hidup telah memakan semangatku yang dahulu menggebu-gebu. aku tumbang lalu layu sebelum kudapat setangkai bunga mekar, sebelum dapat kuhirup semerbak wangi sang mawar. aku takluk, sesaat sebelum terpejam dapat kulihat kegelapan yang tak jua terbit terang.....



By : Dudi Irawan, 31 Mei 2011.