Gemintang
berkawan awan
sedangkan aku sendirian
bertengger di langit malam
*
Senyap jumawa
terangku untuk siapa?
sementara mereka
sang perindu
terangterangan berkata
: tak butuh purnama sebagai pelita!
*
Mungkin kaujenuh menunggu
Sedari tadi berkubang gelap dikamarmu
renta memagut satu demi Satu
nafasku-nafasmu
malam pun selingkuhi lampu
*
Jangan tanya keberadaanku
bila ku pergi saat engkau merayu
Aku hanya bulan
di sepertiga malam
tak berkawan..
Lihat, dengar dan rasakan
- DUDI IRAWAN
- Palembang, sumatera selatan, Indonesia
- Aku adalah aku.. apa perdulimu?
Minggu, 16 Oktober 2011
Minggu, 21 Agustus 2011
"Mati Sendiri"
aku ingin mengalir
dari hulu ke hilir
menjadi riak
sesekali mengepak ombak
menghanyutkan jejak
aku ingin serupa angin semilir
melenggang-lenggang
mencumbu daun-daun
menggoda kelopak
menjadi musafir hingga nafas akhir..
aku ingin menjelma
dalam ketakutan
dalam kegelisahan
dalam kepura-puraan
dalam kenaifan
lalu tumbang sendiri
mati diam-diam tak ditangisi...
(Palembang, 21 Ramadhan 1432 H)
dari hulu ke hilir
menjadi riak
sesekali mengepak ombak
menghanyutkan jejak
aku ingin serupa angin semilir
melenggang-lenggang
mencumbu daun-daun
menggoda kelopak
menjadi musafir hingga nafas akhir..
aku ingin menjelma
dalam ketakutan
dalam kegelisahan
dalam kepura-puraan
dalam kenaifan
lalu tumbang sendiri
mati diam-diam tak ditangisi...
(Palembang, 21 Ramadhan 1432 H)
Selasa, 14 Juni 2011
Menuju Muara..
Catatan kecil dibalik jeruji
Kawan,
Kutuliskan pada ingatan di akhir pekan
Tentang jalan-jalan yang tak pernah kita lewati
Tentang hujan airmata yang menggenangi
Kita berlari-lari
Menantang terik pagi
Kurus jemari memecah karang-karang mimpi
Meski perih tak terperi
Kawan,
Sebelum hari engkau bungkam dengan belati
mainkanlah sejenak lagu tanpa notasi
karena aku kan merindukanmu
juga nada-nada sendumu
dibalik jeruji besi…
Muara
Langkah telah bermuara
Diberanda senja engkau menyulam cerita
Tentang secangkir kopi tanpa gula
Atau asap tembakau dari cigaratte bermerek murah
Renta seumpama phobia
Bergelayut pada bahu
Lalu hinggap pada pundak yang tak lagi perkasa
Mendongengkan kisah –kisah
Yang kau catatkan pada buku setebal satu halaman saja…
Riak telah bermuara
Ditepiannya hijau dedaunan luruh
Ranting-ranting patah terseret pasrah
Jiwa yang rapuh menangis tersedu-sedu
Sebelum menutup mata
Sebelum candu menguap dalam paru-paru
Engkau katakan pada cahaya
Waktumu telah tiba dimuara..
Kawan,
Kutuliskan pada ingatan di akhir pekan
Tentang jalan-jalan yang tak pernah kita lewati
Tentang hujan airmata yang menggenangi
Kita berlari-lari
Menantang terik pagi
Kurus jemari memecah karang-karang mimpi
Meski perih tak terperi
Kawan,
Sebelum hari engkau bungkam dengan belati
mainkanlah sejenak lagu tanpa notasi
karena aku kan merindukanmu
juga nada-nada sendumu
dibalik jeruji besi…
Muara
Langkah telah bermuara
Diberanda senja engkau menyulam cerita
Tentang secangkir kopi tanpa gula
Atau asap tembakau dari cigaratte bermerek murah
Renta seumpama phobia
Bergelayut pada bahu
Lalu hinggap pada pundak yang tak lagi perkasa
Mendongengkan kisah –kisah
Yang kau catatkan pada buku setebal satu halaman saja…
Riak telah bermuara
Ditepiannya hijau dedaunan luruh
Ranting-ranting patah terseret pasrah
Jiwa yang rapuh menangis tersedu-sedu
Sebelum menutup mata
Sebelum candu menguap dalam paru-paru
Engkau katakan pada cahaya
Waktumu telah tiba dimuara..
Jumat, 10 Juni 2011
Caluk Bangka Slideshow
Caluk Bangka Slideshow: "TripAdvisor™ TripWow ★ Caluk Bangka Slideshow ★ to Palembang and Belitung Island. Stunning free travel slideshows on TripAdvisor"
Kamis, 09 Juni 2011
Sajak Basi Tentang kekalahan
TRILOGI : TENTANG KEKALAHANKU
Kepada waktu
Lambat laun musim-musim mengalun
Seiring masa yang tak jemu berganti wajah
Akulah dedaunan muda lalu menjelma tua
Menguning di ujung dahan patah
Ku diam tak beranjak
Berdiripun kaki tak berpijak
Bumi berotasi, berdansa pada matahari
Mengendap-endap lalu berlari
Telapakku kau sulap menjadi batu
Setitikpun tak ada yang kutinggalkan untukmu
Airmata menetes satu-satu
Beranak-pinak dalam muara waktu
Dalam kekalahanku yang pertama
Gemilang waktu menyeretku tanpa asa
Aku tumbang sendiri
Lalu terlupa dalam sejarah yang kau catatkan pada fana
Kepada Cinta yang pernah singgah
Cinta telah menyentuhku
Membelai hangat jiwa yang rapuh
Aku tergoda
Lalu jatuh pada pandangan pertama
Pada musim penghujan yang lalu
Kita tanam segenggam benih bunga rindu
Merayu bulan bagai benalu
Memuja purnama sepanjang jalan berliku
Cinta kita membuai raga
Pada langit kukabarkan bahagia
Hingga pada suatu senja
Kudapati mahkota yang kujaga telah terjamah
Aku membisu
Menangis tanpa isak, meski sesak
Benih cinta yang kutanam dahulu
Telah engkau injak-injak!
Kepada Tuhanku
Tuhan..
Bilamana kau izinkan
Maka perbolehkan aku sekejap saja
Atau bahkan mungkin untuk selamanya
Menghirup aroma wewangi surga
yang pernah Engkau janjikan
Pada setiap hamba
Debu pada wajah
Lumpur dosa mengalir dalam darah
Tak terkira hitamnya jiwa
Entah..
Apa bisa tanganku tengadah
Angkuhku tetap saja meraja
Meski bibir sekuat tenaga
Tak mampu kusebut namaMu diujung lidah
Ampuni aku, ya Allah..
Palembang, 9 Juni 2011
By : Dudi Irawan
Email : kudakudabesi@gmail.com
Facebook ; Duta Leonardo Dudikoff
Blog : www.kudakudabesi.blogspot.com
Kepada waktu
Lambat laun musim-musim mengalun
Seiring masa yang tak jemu berganti wajah
Akulah dedaunan muda lalu menjelma tua
Menguning di ujung dahan patah
Ku diam tak beranjak
Berdiripun kaki tak berpijak
Bumi berotasi, berdansa pada matahari
Mengendap-endap lalu berlari
Telapakku kau sulap menjadi batu
Setitikpun tak ada yang kutinggalkan untukmu
Airmata menetes satu-satu
Beranak-pinak dalam muara waktu
Dalam kekalahanku yang pertama
Gemilang waktu menyeretku tanpa asa
Aku tumbang sendiri
Lalu terlupa dalam sejarah yang kau catatkan pada fana
Kepada Cinta yang pernah singgah
Cinta telah menyentuhku
Membelai hangat jiwa yang rapuh
Aku tergoda
Lalu jatuh pada pandangan pertama
Pada musim penghujan yang lalu
Kita tanam segenggam benih bunga rindu
Merayu bulan bagai benalu
Memuja purnama sepanjang jalan berliku
Cinta kita membuai raga
Pada langit kukabarkan bahagia
Hingga pada suatu senja
Kudapati mahkota yang kujaga telah terjamah
Aku membisu
Menangis tanpa isak, meski sesak
Benih cinta yang kutanam dahulu
Telah engkau injak-injak!
Kepada Tuhanku
Tuhan..
Bilamana kau izinkan
Maka perbolehkan aku sekejap saja
Atau bahkan mungkin untuk selamanya
Menghirup aroma wewangi surga
yang pernah Engkau janjikan
Pada setiap hamba
Debu pada wajah
Lumpur dosa mengalir dalam darah
Tak terkira hitamnya jiwa
Entah..
Apa bisa tanganku tengadah
Angkuhku tetap saja meraja
Meski bibir sekuat tenaga
Tak mampu kusebut namaMu diujung lidah
Ampuni aku, ya Allah..
Palembang, 9 Juni 2011
By : Dudi Irawan
Email : kudakudabesi@gmail.com
Facebook ; Duta Leonardo Dudikoff
Blog : www.kudakudabesi.blogspot.com
Sepenggal Kata Hati, kugoreskan disini...
Kata Hati Lewat Puisi...
oleh Duta Leonardo Dudikoff pada 31 Mei 2011 jam 21:25
aku tengadah pada langit malamku yang retak berserakan. rembulan pecah, bintang gemintang berlarian entah kemana. gelap merajai peraduan, imajinasiku tentang kehidupan dimasa yang akan datang menguap sebelum fajar datang. setiap saat ditikam rindu, yang entah akupun tak tahu pada siapa rindu mesti ku alamatkan. abu-abu dimataku, kelabu dalam dimensi dimana aku terjebak sepanjang waktu.
Aku terseok-seok meniti jalanan berduri, telapak kaki melepuh, jelaga diwajahku. lelah mendera. pada Tuhan kutanyakan makna hidupku untuk semesta, Tuhan pun membisu. angin telah menawarkanku pada seseorang nun jauh disana. jelita elok parasnya, halus budi pekertinya selayaknya peri khayangan yang ku impikan, ketika hendak kujamah sebentuk bayangnya, seketika itu pula aku meradang. kembali aku bercumbu pada semu.
bilamana aku bisa meminta, maka kan kuputar bola waktu kebelakang. aku jemu pada harapan kosong yang dijanjikan sang malam sewaktu kulelap dalam buaian. sungguh realita tak seindah Maya. tapi itulah warna yang seharusnya bisa aku tangkap dan kujadikan fatwa. sajak basi, puisi kosong tanpa arti lalu pena pun kehabisan tinta begitu pula lidah yang akhirnya kelu untuk bersumpah serapah atau sekedar menyampaikan salam pada kematian yang Engkau janjikan.
sampai dimana jejak kaki kan membekas? tanpa arah aku berlari-lari, sesaat berhenti, kutengok kebelakang tak ada siapa-siapa, aku tertinggal sendiri rupanya. sahabat-sahabat masa kecil, cinta yang pernah singgah atau impian-impian semusim yang pernah aku lukiskan pada senja tlah memudar lalu menguap tiba-tiba. aku sepi lalu senandungkan lagu sunyi. berdansa pada derita, terik memainkan orkestra kepiluan yang mendayu-dayu. keringat memercik didahiku, aku bersidekap rapuh, tak berkawan, tak punya masa depan, keheningan menjadi jubahku dalam perjalanan. dalam kekalutan yang bergemuruh, aku pasrahkan jiwa pada malaikat pencabut nyawa. aku diam, kekalahan dalam pergulatan hidup telah memakan semangatku yang dahulu menggebu-gebu. aku tumbang lalu layu sebelum kudapat setangkai bunga mekar, sebelum dapat kuhirup semerbak wangi sang mawar. aku takluk, sesaat sebelum terpejam dapat kulihat kegelapan yang tak jua terbit terang.....
By : Dudi Irawan, 31 Mei 2011.
oleh Duta Leonardo Dudikoff pada 31 Mei 2011 jam 21:25
aku tengadah pada langit malamku yang retak berserakan. rembulan pecah, bintang gemintang berlarian entah kemana. gelap merajai peraduan, imajinasiku tentang kehidupan dimasa yang akan datang menguap sebelum fajar datang. setiap saat ditikam rindu, yang entah akupun tak tahu pada siapa rindu mesti ku alamatkan. abu-abu dimataku, kelabu dalam dimensi dimana aku terjebak sepanjang waktu.
Aku terseok-seok meniti jalanan berduri, telapak kaki melepuh, jelaga diwajahku. lelah mendera. pada Tuhan kutanyakan makna hidupku untuk semesta, Tuhan pun membisu. angin telah menawarkanku pada seseorang nun jauh disana. jelita elok parasnya, halus budi pekertinya selayaknya peri khayangan yang ku impikan, ketika hendak kujamah sebentuk bayangnya, seketika itu pula aku meradang. kembali aku bercumbu pada semu.
bilamana aku bisa meminta, maka kan kuputar bola waktu kebelakang. aku jemu pada harapan kosong yang dijanjikan sang malam sewaktu kulelap dalam buaian. sungguh realita tak seindah Maya. tapi itulah warna yang seharusnya bisa aku tangkap dan kujadikan fatwa. sajak basi, puisi kosong tanpa arti lalu pena pun kehabisan tinta begitu pula lidah yang akhirnya kelu untuk bersumpah serapah atau sekedar menyampaikan salam pada kematian yang Engkau janjikan.
sampai dimana jejak kaki kan membekas? tanpa arah aku berlari-lari, sesaat berhenti, kutengok kebelakang tak ada siapa-siapa, aku tertinggal sendiri rupanya. sahabat-sahabat masa kecil, cinta yang pernah singgah atau impian-impian semusim yang pernah aku lukiskan pada senja tlah memudar lalu menguap tiba-tiba. aku sepi lalu senandungkan lagu sunyi. berdansa pada derita, terik memainkan orkestra kepiluan yang mendayu-dayu. keringat memercik didahiku, aku bersidekap rapuh, tak berkawan, tak punya masa depan, keheningan menjadi jubahku dalam perjalanan. dalam kekalutan yang bergemuruh, aku pasrahkan jiwa pada malaikat pencabut nyawa. aku diam, kekalahan dalam pergulatan hidup telah memakan semangatku yang dahulu menggebu-gebu. aku tumbang lalu layu sebelum kudapat setangkai bunga mekar, sebelum dapat kuhirup semerbak wangi sang mawar. aku takluk, sesaat sebelum terpejam dapat kulihat kegelapan yang tak jua terbit terang.....
By : Dudi Irawan, 31 Mei 2011.
Langganan:
Postingan (Atom)