Lihat, dengar dan rasakan

Foto saya
Palembang, sumatera selatan, Indonesia
Aku adalah aku.. apa perdulimu?

Sabtu, 03 April 2010

http://www.facebook.com/photo.php?pid=30430479&id=1545447478&op=1&view=global&subj=1759922122

Mimpi Buruk bag.2

Kuda-kuda Besi (cerita 9) : Mimpi Buruk! (bag.2)

Aku merasakan kepalaku pusing sesaat. kuraba keningku yang bengkak, kedua siku tanganku nyeri. sesaat kemudian aku teringat pada mbak yenni. Kulihat perempuan itu tertelungkup tak sadarkan diri di aspal jalanan. Aku sontak bangkit lalu berlari menghampiri tubuh perempuan itu. kulihat darah disela-sela rambut bagian belakang kepalanya.

Aku panik. Aku lalu berteriak minta tolong. Dalam sekejap tempat itu menjadi ramai. Orang-orang berdatangan hingga puluhan, jalan menjadi macet. kendaraan yang lalu-lalang berhenti untuk melihat kejadian itu. Sebagian orang bergegas mendatangi mobil avanza hitam yang tadi menabrak motorku. Mereka berteriak-teriak dengan marah, mengutuki si pengendara mobil yang menyebabkan kecelakaan itu terjadi. Beberapa orang membantuku mengangkat tubuh mbak Yenni yang pingsan.

"cari mobil..! lekas cari mobil..! bawa kerumah sakit segera..! teriak seseorang.
Beruntung sebuah mobil berhenti dan bersedia membantu kami membawa mbak Yenni kerumah sakit. Aku tak menghiraukan lagi motorku, yang kupikirkan sekarang adalah sesegera mungkin menyelamatkan mbak Yenni. Kami mengangkat tubuh mbak yenni kedalam mobil, sebelum naik ke mobil aku mengawasi kerumunan orang-orang yang melihat kearah kami, kalau-kalau ada salah satu yang kukenal untuk kumintai pertolongan menjaga motorku yang tadi terseret jauh hingga kepinggir jalan. tapi tak ada yang kukenal. Sepintas aku melihat seraut wajah diantara kerumunan orang-orang tersebut. Seorang Pria setengah baya dengan jaket jeans berwarna biru. Aku mengenalinya. Pria itu yang tempo hari kuberi tumpangan ke Lampu Merah. Pria itu menatapku dengan aneh seraya menyeringai! Aku hendak mendekatinya, tapi pria itu lalu menghilang dengan misterius.


Aku duduk diatas ranjang besi diruang gawat darurat RS. Myria. Seorang suster berpakaian serba putih mendekatiku. "bagaimana dengan mbak Yenni, suster?" Tanyaku.

"Maksud anda perempuan yang dibawa bersama anda tadi? tenang saja. Dia sudah mendapat perawatan kok. Sekarang saya akan memeriksa luka-luka anda..mohon buka bajunya ya."

Aku membuka bajuku, Aku baru sadar ternyata kedua siku lengan dan punggungku sebelah kiri penuh luka lecet. suster itu lalu mengobatiku dengan cairan antiseptic yang dioleskan dengan kapas keseluruh luka ditubuhku. aku mengernyit menahan perih.

"anda juga harus disuntik..agar lukanya cepat sembuh." suster itu lalu menyiapkan peralatan suntiknya. Aku diam saja. Aku lantas berbaring ketika sang perawat rumah sakit itu memerintahkan aku untuk berbaring. Handphoneku berdering. ternyata adik perempuanku yang menelepon. Aku lupa aku tak sempat menghubungi keluargaku perihal kejadian yang menimpaku barusan.

"Kak...bagaimana keadaan kakak? kakak baik-baik saja kan? kakak dirumah sakit mana?" adikku mencecarku dengan beragam pertanyaan dengan nada cemas dan panik. "kakak tak apa-apa, jangan khawatir..nanti juga pulang kok, kakak sekarang dirumah sakit myria...kalian tenang saja. bilang sama bapak dan emak kalo kakak tak apa-apa..." jawabku meyakinkan adikku.

"Apa kami perlu kerumah sakit sekarang?" tanya adikku lagi.
"tak perlu...sebentar lagi kakak pulang, ini hanya luka kecil kok.." kataku lagi, Aku berusaha menyakinkan adikku kalau aku tak mengalami cidera parah. Aku lalu mematikan handphone. suster yang tadi hendak menyuntikku diam menunggu. "sepertinya anda segar bugar..tapi anda tetap perlu mendapat suntikan."

"terserahlah mbak.." jawabku pendek. suster itu lalu menyuntikku. Kembali handphoneku berdering. beberapa sms dari teman-temanku masuk. Mereka sudah tahu perihal kecelakaan yang menimpaku, mereka menanyakan keadaanku. Langsung kukabarkan pada mereka kalau aku tak apa-apa. Si suster selesai melaksanakan tugasnya. "nanti ada perawat lain yang akan merawat anda, saya permisi dulu." katanya kemudian. Lalu perempuan berseragam putih itu berlalu. Aku duduk sendirian diatas ranjang. Mencoba mengingat-ngingat kembali bagaimana aku bisa mengalami musibah ini. Dalam hati aku amat bersyukur aku tak mengalami luka parah. Allah telah menyelamatkanku dari maut yang nyaris saja merenggut nyawaku. Aku mengucap tasbih berulang-ulangkali didalam hati.

Tak berapa lama seorang suster masuk kedalam ruangan itu. Orang yang lain. Aku mengamati perempuan itu, ketika kami beradu pandang aku terperangah tak percaya. "Ning..." desisiku. Suster itu tersenyumkearahku. Aku mengenalinya, Subhanallah! "Ning..ini kamu kan Ning?"

Perempuan berseragam putih itu mengangguk. Aku sungguh tak menyangka akan bertemu dengan sahabat lamaku, Ningrum adalah temanku sebangku sewaktu kami masih sama-sama duduk dikelas dua SMP. pertemuan ini sungguh tak kusangka. Aku tak mengira Ningrum akhirnya menjadi seorang perawat dirumah sakit. wajahnya tak banyak berubah, tetap manis dan cantik dengan tubuh kurus dan berkulit sawo matang. Ningrum berdiri disampingku tersenyum sembari mengulurkan tangannya. "Apa kabar Dud..?"

"Baik. kamu tak berubah Ning..."
"kamu juga...sepertinya ini menjadi pertemuan yang aneh bagiku.."
Aku tersenyum. "tentu saja, aku sebagai pasien dan kamu sebagai perawatnya.." Ningrum lagi-lagi tersenyum."kamu tak banyak berubah."
entah sudah berapa tahun aku tak bertemu dengan gadis itu. semenjak tamat SMP tahun 1995 hingga sekarang kami tak pernah berjumpa. Tak tahu kabar masing-masing. Hingga jalan takdir akhirnya mempertemukan kami disebuah ruangan di rumah sakit ini. Ningrum menyiapkan kapas dan perban, ia mengamati bengkak dikeningku. "bengkak ini harus cepat diobati, biarkan aku membalutnya dengan perban."

Aku mengangguk. Ningrum meraba keningku, kutatap matanya. Gadis itu merunduk malu. Ia lalu mengambil gulungan perban di nampan yang tadi dibawanya. "kamu sudah menikah Ning?"
"sudah...setahun yang lalu."
"kamu sendiri?" ningrum balas bertanya padaku. Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal lalu menggeleng. "Aku masih belum menemukan apa yang kucari, Ning.Siapa laki-laki beruntung itu Ning?"
Ningrum diam tak menjawab, ia membersihkan luka dikeningku lalu membalutnya dengan perban. "sekarang ia tengah diluar kota. Lampung. Lain kali kamu harus hati-hati Dud..Aku tak mau kita bertemu lagi dalam kondisi seperti ini."

Aku menghela nafas. Lalu teringat pada mbak yenni. "bagaimana keadaan mbak yenni Ning? apa dia baik-baik saja?"
"sepertinya dia mengalami gegar otak, ada luka dikepala bagian belakang dan beberapa dibagian tubuh yang lain. Tapi kami sudah mengatasinya. kau tenang saja sekarang, jangan berpikiran yang buruk."
"Aku merasa amat bersalah Ning...Aku.." Ningrum menepuk pundakku. "Bersabarlah...ini adalah sebagian kecil ujian dari Allah kepada hambaNya yang beriman. kita harus tegar dan menjadikan semua kejadian ini sebagai pelajaran berharga dimasa yang akan datang. Ini juga bisa menjadi teguran agar kita tak boleh lalai dalam mengingatNya."

Ah, ucapan Ningrum membuatku hatiku tersentuh. Ningrum selalu tak henti menasehatiku sewaktu kami sebangku dulu di masa-masa sekolah. Dialah teman yang selalu membantuku dalam tiap kesulitan disekolah, mengajariku bila aku tak memahami satu pelajaran atau membantuku menyelesaikan pekerjaan sekolah.

Aku terduduk lemah dibangku panjang diteras rumah sakit. Setelah luka-luka ringan yang kuderita sudah di obati aku menyempatkan diri keruangan UGD dimana mbak yenni dirawat. kulihat perempuan itu belum sadarkan diri, seorang anak perempuan menangis disampingnya. Dewi, sang putri kecilnya yang mulai beranjak remaja barusan datang ke rumah sakit begitu mendengar kabar ibunya mengalami kecelakaan. Dengan diantar beberapa orang tetangganya.
seorang bapak-bapak mencoba menenangkannya.

Aku meraba keningku yang dibalut perban, rasa nyeri mendera kepalaku sesaat. Aku seakan tak percaya begitu buruknya peristiwa yang barusan kualami. padahal seingatku aku tak mempunyai firasat apa-apa kalau bakal mengalami mimpi buruk seperti ini. Mimpi buruk yang akan terus membekas dalam ingatanku sampai kapanpun....

Mimpi Buruk bag. 1

Kuda-kuda Besi (cerita 9) : Mimpi Buruk! (bag. 1)

Jalan Tanjung Api-api membentang angkuh. Tak pernah sepi dari deru mesin-mesin kendaraan yang lalu lalang sepanjang hari. Terkadang aku masih tak percaya kalau dulunya jalan itu adalah rawa-rawa dan hutan. Kini semua telah berubah sejak awal tahun 90-an sekelompok traktor-traktor kuning dengan perkasanya menggusur habis pepohonan yang pernah tumbuh dengan rimbunnya disana. Mobil-mobil truk Fuso pengangkut tanah hilir mudik mengangkut tanah untuk menimbun rawa-rawa tempat kami bertualang semasa kecil dulu untuk mencari ikan.

Kami tak pernah membayangkan sebelumnya kalau suatu saat hutan dan rawa-rawa yang ditimbuni itu akan menjadi jalan raya yang membentang tepat didepan perumahan 'ujung dunia' tempat kami tinggal. Jalan Tanjung api-api menjadi akses menuju bandara internasional Sultan Mahmud Badaruddin II dan juga akses menuju Pelabuhan megah 'Tanjung Api-api' yang penuh kontroversial dalam proses pembangunannya.

Ketika sebuah Traktor berhasil menumbangkan sebatang pohon beringin tua dipinggir lapangan temapat kami bermain, itulah awal pertanda akan hadirnya peradaban baru didaerah kami tinggal. Ironisnya kami saat itu justru bersorak-sorak kegirangan ketika traktor kuning itu berhasil menumbangkan pohon terbesar tempat dimana kami dulu sering bernaung dan bermain dibawah rindangnya, setelah berkali-kali gagal merobohkan dan menaklukan akar-akarnya yang berpijak kuat didalam tanah.

Suaranya bergemuruh ketika pohon itu tumbang, dan sang sopir traktor mengelap keringatnya dengan handuk dan sorot mata yang memancarkan perasaan puas dan penuh kemenangan. Hari itu ia berhasil membuka jalan bagi kemajuan pembangunan didaerah tempat kami tinggal.

Tepat delapan belas tahun kemudian, kini rawa-rawa dan lapangan tempat kami bermain semasa kecil telah menjelma menjadi sebuah jalan raya yang terang benderang dengan lampu-lampu hias ditengah trotoar.

Aku menyusuri jalan tanjung Api-api dengan sepeda motorku. sinar lampu depan motorku berkilat-kilat laksana pedang cahaya menembus kegelapan malam. Angin malam membelai wajahku.Aku diam dalam hening. Pria separuh baya yang sedari tadi duduk membonceng dibelakangku juga tak banyak bicara. Aku bertemu dengannya digapura perumahan, pria itu memohon agar aku bersedia memberinya tumpangan. Ia bemaksud ke lampu merah tapi karena hari telah malam tak ada lagi ojek yang melintas. Aku bersedia mengantarnya karena lampu merah tak begitu jauh dari perumahan. Dengan jalanan Tanjung Api-api yang mulus aku cukup membutuhkan waktu kurang dari sepuluh menit untuk tiba dipersimpangan lampu merah.

Pria itu, dengan jaket biru jeans dan tas ransel dipundaknya akhirnya kuberi tumpangan. selama perjalanan kami diam untuk beberapa saat, sampai akhirnya ia membuka suara. "Sudah lama tinggal didaerah sini dik?"
Aku mengangguk. "kurang lebih 26 tahun pak..sejak tahun 82..". Pria separuh baya itu mengangguk-ngangguk. "cukup lama juga ya..." katanya."sepertinya ada yang aneh ketika saya berjalan melewati sebatang pohon jambu mete tak jauh dari gapura tadi.Ada aura gaib melingkupi pohon itu."

"Maksud bapak, pohon itu ada penunggunya?" tanyaku sembari sesekali memainkan tombol lampu depan motorku ketika dari arah berlawan sebuah mobil melaju. Pria itu menghela nafas. "sepertinya begitu..menurut penglihatan saya dipohon itu bersemayam mahluk sejenis kuntilanak...adik tahu itu?"

"Oh itu...semua orang sudah tahu pak, tapi selama tak mengusik dan menganggu orang yang melintas, tak menjadi masalah pak. Kita tak perlu takut. Mahluk halus sejenis jin memang ada didunia ini, tapi mereka berbeda alam dengan kita, mereka mahluk tak nyata."

"Hemm, kau benar dik. Bapak juga melihat ada keanehan di jalan tepat didepan perumahan tadi... tapi bukan sejenis kuntilanak, melainkan manusia dengan wujud kepala anjing..kalian harus berhati-hati karena sepertinya mahluk ini jahat."

Seketika bulu kudukku merinding mendengar ucapan pria separuh baya itu. "Pantas kalau begitu pak...disekitar situ memang sering terjadi kecelakaan yang memakan korban jiwa."

"Mahluk itu meminta tumbal. Mungkin dahulunya sebelum jalan raya ini jadi adalah tempat tinggalnya yang tanpa kita sadari kita gusur sehingga menganggunya. sebagai pelampiasan amarahnya ia akan terus menganggu setiap kendaraan yang melintas dijalan itu."

Aku terdiam, suasana jadi mencekam. hening tanpa kata. Yang terdengar hanya suara deru mesin motorku yang melaju membelah malam. Dalam hatiku terus bertanya-tanya mengapa pria separuh baya itu berkata demikian. Bagaimana ia bisa mengetahui keberadaan mahluk halus yang tinggal dibatang jambu mete dan jalan depan komplek kami. menurut pemikiranku pria tua ini pastilah memiliki kemampuan spiritual seperti kebanyakan umumnya paranormal.

"ya tak masalah memang. tapi kita tetap harus hati-hati dik...banyak-banyak berdoa memohon perlindungan Allah agar dilindungi dari gangguan mahluk-mahluk sejenis jin yang suka menganggu manusia."

Aku mengangguk. aku mengurangi kecepatan motorku. persimpangan lampu merah sudah didepan mata. intensitas kendaraan masih tinggi dijalan raya kolonel haji Burlian. Mobil-mobil dan motor lalu lalang, biskota berbagai jurusan melintas dan sesekali berhenti untuk menaikkan atau menurunkan penumpang.

Aku memperlambat laju motorku. Pria separuh baya yang duduk dibelakangku menepuk pundakku, memberi isyarat agar aku menghentikan motorku. "stop disini saja dik.."

Aku menghentikan motorku dipinggir jalan. Lampu merah hanya tinggal berjarak lima meter dari tempatku berhenti. Pria itu turun lalu merogoh saku celananya. Ia mengangsurkan uang sepuluh ribu kearahku.

Aku lantas menolaknya. "tak usah pak, saya iklahs mengantar bapak tanpa mengharapkan bayaran kok.."

"tak apa dik, terima sajalah...ini sebagai bentuk ucapan terima kasih saya karena sudah diantar hingga ke lampu merah ini. Ambilah, untuk beli rokok."

Akhirnya aku menerima uang pemberian pria separuh baya itu. Pria itu kembali menepuk pundakku seraya tersenyum. Ia lalu berjalan meninggalkanku. Aku melirik sejenak uang ditanganku, ketika aku menoleh kearahnya aku terkesiap. Pria itu telah menghilang bagai ditelan bumi. Aku mengedarkan pandanganku tapi tetap tak kutemukan keberadaannya. Sungguh mustahil ia mampu berjalan secepat itu. Seketika bulu kudukku kembali merinding, cepat-cepat aku memutar motorku lalu dengan kecepatan tinggi melaju menyusuri jalan Tanjung Api-api untuk bergegas pulang. Sinar rembulan yang tadi menerangi jalan tenggelam dibalik awan-awan dilangit yang menghitam. Pekat dan gelap.



Dengan jalanan beraspal yang mulus dan lurus membentang maka tak heran apabila jalan tanjung Api-api terutama ditikungan menuju bandara sering dijadikan para kawula muda dan anak-anak berusia sekolah penggila balap menjadikan jalan itu sebagai arena kebut-kebutan dan balap liar. Ajang balap-balapan pada umumnya sering dilakukan sore hari pada hari sabtu dan minggu, kadang juga malam hari. Dengan suara mesin motor yang mengaum-ngaum mereka dengan berani melaju diatas kecepatan 80 bahkan 90 km/jam. Terkadang juga disertai dengan aksi-aksi mengangkat roda depan keatas. Apabila balapan berlangsung jalanan akan dipenuhi ratusan motor ABG yang berkelompok atau bersama pasangan masing-masing menonton aksi balap liar tersebut. Hal ini tentu teramat menganggu bagi pengguna jalan lain pada umumnya. Aksi ini baru akan bubar bila hari menjelang maghrib atau bila pihak kepolisian dari sekta 8 Sukarami datang membubarkan balapan tersebut.

Aksi balapan liar tersebut juga kerap meminta korban nyawa. sudah terlalu sering kecelakaan terjadi tapi seolah tak pernah menimbulkan efek jera. Selain ditikungan menuju bandara, kecelakaan juga sering terjadi tepat didepan gerbang perumahan PDK. Baik sesama pengendara motor ataupun mobil yang menabrak motor. Kebanyakan korban mengalami luka parah dan ada juga yang sampai meninggal. Aku juga tak habis pikir mengapa sering terjadi kecelakaan tepat beberapa meter didepan gerbang komplek perumahan tempat kami tinggal. Apakah benar jalan itu angker seperti yang orang banyak bilang? apakah benar perkataan pria separuh baya yang tempo hari pernah kuberi tumpangan ke lampu merah itu bahwa disekitar jalan tersebut ada mahluk jadi-jadian berwujud manusia berkepala anjing bersemayam yang meminta tumbal nyawa? pertanyaan-pertanyaan itu terus berkecamuk dibenakku. Terkadang aku sulit mempercayainya karena menurutku kecelakaan umumnya terjadi karena berbagai faktor : terlalu ngebut membawa kendaraan, melanggar lalu lintas, rem yang blong atau banyak faktor-faktor lainnya. Bukan karena pengaruh hal-hal yang berbau mistis seperti gangguan mahluk halus yang bisa menyebabkan terjadi kecelakaan.

Aku ingat kejadian beberapa bulan yang lalu saat salah seorang temanku Kuswandi tewas ditabrak truk Fuso yang melaju dari arah berlawanan. Atau si Ateng, anak kecil yang juga tewas ditabrak mobil karena mengejar layang-layang putus. Semua kecelakaan itu terjadi tepat didepan gerbang perumahan kami. dan Itu hanya sebagian contoh, belum lagi yang lainnya.


Minggu, 18 Mei 2008 pukul : 17.35 wib
Aku tiba didepan rumah mbak Yenni. Ia janda dengan seorang putri yang telah duduk dibangku SLTP. Siang tadi aku telah berjanji untuk mengantarnya berbelanja. Perempuan berusia tigapuluh lima tahunan itu telah menungguku sedari tadi. Aku menghidupkan mesin motorku, lalu mbak Yenni duduk membonceng dibelakang.

"kita mau kemana nih mbak?" tanyaku sebelum kutarik pedal gas. Mbak yenni berpikir sejenak, lalu dengan logat jawa yang kental ia menjawab "temani mbak beli bakso untuk Dewi dulu yak dik". Aku mengangguk. Dewi adalah nama putri satu-satunya. Mbak Yenni telah lama hidup menjanda, mantan suaminya entah kemana. Kini mereka berdua hidup susah. Mbak Yenni berjuang menghidupi dirinya dan putrinya dari bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Aku terkadang iba pada nasib mereka berdua, hidup miskin dan seadanya.

Aku lalu membawa motorku dengan kecepatan sedang. Jalan Tanjung Api-api terlihat lengang, paling hanya ada satu-dua kendaraan yang melintas. Hari semakin beranjak petang, matahari dengan semburat sinar jingganya mulai tenggelam diufuk barat. Aku mengarahkan motorku menuju sebuah warung bakso yang terletak tak jauh dari gerbang Komplek PDK, tetapi untuk menuju kewarung tersebut aku harus mengambil jalan memotong kekanan. Aku lalu menghidupkan lampu sein kanan sembari bergerak kekanan jalan, kulirik kaca spion tak ada kendaraan dibelakang kami. Aman, pikirku. Aku lalu tanpa ragu menggerakkan setang motorku kearah kanan jalan. Tapi pada saat itu tiba-tiba mbak yenni berteriak kepadaku sambil menepuk-nepuk pundakku.

"Awas dik...! ada mobil dibelakang!" Aku lantas melihat kekaca spion motorku. Tak ada kendaraan apapun, aneh! Mbak yenni lalu kembali berteriak penuh ketakutan. "Awas..ada mobil cepat kita kekiri nanti kena tabrak dik..?!

"mana mobilnya mbak? tak ada kok..?! kataku keras sambil melihat kekaca spion dengan panik. Karena tak melihat apapun aku lantas memutuskan langsung bergerak kekanan karena jarak untuk kejalur kanan tinggal tiga meter lagi. Dan pada saat itulah sebuah mobil Avanza berwarna hitam tahu-tahu telah menabrak motorku dari belakang.

Braakkk!!....
Suaranya terdengar amat keras. Aku merasakan tubuhku seakan-akan terangkat oleh tangan-tangan raksasa yang tak terlihat, lalu tubuhku terlempar dari atas motorku sendiri. Melayang tanpa daya lalu berguling-gulingan diaspal! saat terguling itu aku sempat melihat motorku terpelanting dan terseret jauh sekitar sepuluh meter lebih.

Aku terkapar tertelungkup.

Di Ujung Dunia

kuda-kuda besi (cerita 8) : Di Ujung Dunia

seandainya putaran roda waktu dapat kembali menggelinding kebelakang, maka aku akan meminta untuk dikembalikan saja ke masa lalu dimana aku berada diujung dunia...

aku merindukan saat-saat dimana aku menghabiskan masa kecilku bersama para sahabat, merajai hari dan menantang terik matahari. Aku merindukan suara merdu kicau burung-burung, jeritan kera-kera didahan pepohonan kayu gelam, rawa-rawa dan pepohonan yang menghijau. jalanan becek dan berlobang yang seperti kubangan lumpur apabila musim penghujan datang dan lapangan bola tempat kami menghabiskan hari.

Aku merindukan lapangan bola tempat kami bermain semasa kecil, belajar bersepeda, bermain kasti, bermain perang-perangan, berkelahi dan memenuhi hari-hari dengan tangis dan canda tawa.

perumahan komplek PdK tempat kami tinggal mungkin adalah komplek perumahan pertama yang dibangun dikota Palembang. berjarak lebih kurang 12 KM dari pusat kota dan berada disebelah timur bandara Talang Betutu, komplek kami terkucil dengan buruknya akses jalan yang menghubungkan kami dengan dunia luar.Dari bandara komplek kami hanya berjarak beberapa kilometer saja dari landasan pesawat. maka tak perlu heran bila tiap satu jam sekali akan terdengar suara bergemuruh memekakkan telinga diatas langit, tepat diatas rum$ah-rumah kami. lalu bayangan besar menyerupai burung raksasa terbang melintas menembus awan tepat diatas kepala kami.

Pesawat Garuda, Merpati, dan berbagai jenis pesawt lainnya telah kami hafal bentuk dan warnanya karena saking seringnya kami melihat pesawat-pesawat tersebut melintas terbang rendah dilangit perumahan kami.Ironisnya aku belum pernah merasakan duduk didalam pesawat itu meski hanya lewat mimpi sekalipun. Bila kebetulan kami tengah bermain dilapangan dibelakang mesjid, kami lalu akan berteriak-teriak seperti orang gila dan melambai-lambai pada pesawat yang hendak turun atau take off. saat kita tengah berbincang pada saat pesawat melintas maka dijamin suara kita tak akan terdengar satu sama lain karena kalah oleh suara bergemuruh mesin pesawat yang kebetulan melintas.saking dekatnya kami dapat melihat roda-roda, dan bagian bawah pesawat dengan jelas. bila ada anak-anak yang tengah bermain layangan, mungkin layangan itu bisa tersangkut disalah satu bagian pesawat! sebuah pemikiran konyol tentunya.


Di ujung dunia inilah kami tinggal. tempat yang dulu acapkali disebut orang tempat jin 'membuang anak'. lebih kurang 26 tahun kami hidup berdampingan sebagai tetangga, handai-tolan, dan kawan sepermainan, kami seolah tumbuh menjadi satu keluarga besar.

Dalam kurun waktu dua puluh enam tahun tersebut telah banyak suka duka yang kami alami bersama.Telah banyak yang datang dan pergi diantara kami, para orangtua, saudara, dan sahabat-sahabat lama, sedih dan tawa silih berganti menghiasi kehidupan kami di ujung dunia ini. Yang dulunya masih anak-anak kini banyak yang sudah punya anak. yang dulunya hidup sederhana kini telah menjadi kaya raya. yang dulunya hidup bergelimang harta dan kini menjadi serba kekuranganpun ada.

Segala jenis profesi terwakili disini, diantara kami. Pejabat pemerintahan, pegawai PU, pegawai kejaksaan, polisi, pengacara, petugas PLN, pensiunan pegawai negeri, tukang sayur, kepala sekolah, guru, sopir taksi, anggota dewan, buruh pabrik, tukang bangunan, ustadz, pengangguran, semua ada disini. Kami hidup rukun sebagai tetangga, hidup dengan kebersamaan dan toleransi yang tinggi terhadap satu sama lain. bahu-membahu apabila tengah mengadakan satu hajatan atau peringatan agustusan,kegiatan hari besar keagamaan dan sebagainya. mungkin itulah yang dinamakan keanekaragaman, kawan. perbedaan asal kampung halaman, bahasa daerah, watak,dan status ekonomi justru menjadi bumbu penyedap dalam kehidupan kami di ujung dunia ini.

Komplek perumahan kami sungguh tersudut, dan terletak dipinggiran kota. dikelilingi rawa dan hutan kecil dengan pepohonan besar yang banyak tumbuh memberi nuansa khas pedesaan yang teramat asri dan alamiah. bila hari beranjak petang maka akan terlihat dilangit sekawanan burung belibis yang terbang pulang kesarang. Saat malam datang keheningan akan terpecah dengan riuh rendah nyanyian jangrik dan binatang-binatang malam. Aku merindukan suasana itu kawan...

Aku duduk sambil memeluk lutut diatas dipan bamb,. dibawah naungan teduh pohon belimbing yang buahnya asam. Menatap jalan yang tak pernah sepi dari deru mesin kendaraan yang lalu lalang. Angin membelai wajahku dengan malu-malu, ahh...bayangan masa lalu itu kini memenuhi benak dan pelupuk mataku saat itu. kini semua telah benar-benar berubah ditempat ini. Tak ada lagi hutan-hutan kecil,suara-suara burung dan teriakan kera-kera yang bergelantungan didahan-dahan kayu gelam,tak ada lagi jalanan berlumpur dan berlobang-lobang, rawa-rawa tempat kami berenang dan mencari ikan, semua telah berganti dengan suasana perkotaan seiring berubahnya zaman. Lapangan bola tempat kami bermain igusur menjadi bangunan pabrik dan jalan raya yang menghubungkan pusat kota dengan bandara internasional Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang. Rawa-rawa ditimbun lalu didirikan SPBU dan pergudangan, lampu-lampu penerang jalan, papan iklan dan rambu-rambu. Rumah-rumah para tetanggaku pun tak mau kalah dengan perkembangan zaman. Mereka berlomba-lomba dalam bermegah-megah dan menyulap rumah mereka yang dulunya tipe 36 kini kebanyakan menjelma menjadi istana.

Bila dipotret dari atas langit, maka tampaklah perumahan di ujung dunia tempat kami bernaung selama kurang lebih dua puluh enam tahun ini telah diapit jalan raya yang melingkar dan bangunan pabrik yang dengan arogannya mencaplok sejengkal tanah tempat kami berdiri nyaman selama ini. Mungkin inilah bentuk nyata kekejaman kemajuan zaman. Arogansi tatanan kota dan kebijakan pemerintah. Disisi lain kami amat berterimakasih dengan lepasnya kami dari kesulitan akses kekota, disisi lain kami juga amat merindukan suasana alami tempat kami tinggal selama ini.

Dahulu, untuk menuju jalan raya kami harus menempuhnya dengan berjalan kaki karena sulitnya mencari alat transportasi. Lebih kurang 3 KM perjalanan kami tempuh dalam waktu hampir satu jam. Dan itu berlangsung beberapa tahun pada era 80-an.

Meski jauh dari keramaian kota, perumahan di ujung dunia tempat kami tinggal ini pernah juga diliput media. Itu terjadi sekitar tahun 1993. ketika salah satu rumah warga mengalami musibah kebakaran. Bahu-membahu kami memadamkan api sambil menunggu mobil pemadam kebakaran datang. Saat kami nyaris pasrah dan dicekam kepanikan yang luar biasa, pertolongan pun tiba. Lima unit mobil pemadam kebakaran, polisi, satuan Brimob, ABRI dan para wartawan dari berbagai media turut hadir disana. Aku ingat saat itu aku masih duduk dikelas satu SMP.

Perumahan kami yang biasanya hening kini menjadi ramai seperti pasar malam. teriakan-teriakan petugas, para warga yang bergotong-royong menjinakkan api memecah kedamaian malam. Para ibu-ibu dan anak-anak menangis. Akupun pada saat itu berdiri dengan lutut gemetaran. kami berkumpul tak jauh dari tempat kebakaran. Melihat api yang berkobar-kobar dan air yang disemprotkan dari selang-selang besar petugas pemadam kebakaran. Lampu kamera TV dari wartawan TVRI berkilat-kilat merekam kejadian dan sesekali mengarah kearah kami. Kami tersenyum kikuk lalu berusaha menghindarkan wajah dari sorotan kamera. salah seorang wartawan membawa mikrofon dengan logo TVRI lalu mendekati wak Ibrahim ketua RT kami saat itu untuk melakukan wawancara singkat perihal asal muasal kebakaran.

Aku yang saat itu tengah berkumpul dengan teman-temanku hanya melihat dari kejauhan. Kami berbincang-bincang dengan lirih. berbisik-bisik tak jelas. Salah seorang temanku bernama Kamad kemudian menghampiriku. Ia berbisik lirih ditelingaku.

"Dud...tak adakah niat dihatimu untuk menjadi terkenal?" bisiknya sambil menatapku. Aku mengernyitkan kening, tak mengetahui apa maksud dari arah pertanyaannya. Kamad lalu tertawa terkekeh. Ia menunjuk kearah wak Ibrahim yang tengah diwawancara dan disorot kamera. "Kalau kau ingin masuk televisi, gampang caranya kawan! kita cukup berdiri dibelakang wak Ibrahim maka dijamin wajah kita akan muncul ditelevisi besok...kita akan terkenal kawan! tahukah kau, berapa banyak pasang mata yang akan menonton kita dari televisi? jutaan kawan!! kita akan terkenal....!"

Aku menggelengkan kepala, menolak ide gila yang diusulkan bocah kurus itu. Kamad berupaya membujukku sambil menarik-narik tanganku tapi aku tetap menolak. Aku tak mau terlihat bodoh dan menjadi bahan tertawaan kawan-kawanku disekolah nanti apabila mereka menonton acara itu. Kamad menyerah. Ia lalu pergi meninggalkanku. Aku tak menghiraukannya lagi, aku bergegas pulang untuk membantu ibuku yang tengah mengumpulkan barang-barang berharga yang tadi sempat kami bungkus dengan kain seprai untuk berjaga-jaga seumpama kebakaran tadi merambat kerumah-rumah kami.

Api akhirnya bisa dijinakkan. meski kebakaran telah bisa diatasi para warga masih banyak yang berkumpul disekitar lokasi. sebagian ada juga yang kembali pulang kerumah masing-masing. ketegangan masih terpancar dari wajah-wajah kami. lelah dan ketakutan masih merayapi disekujur tubuh kami. Aku mencoba untuk tidur meski kerap bayangan api kebakaran yang terjadi barusan masih membekas dipelupuk mataku.

Keesokan harinya kami kembali melakukan aktifitas seperti biasa. diwarung-warung para warga masih banyak yang bercerita membahas kejadian semalam. Dimana-mana, tema kebakaran menjadi topik yang hangat untuk diperbincangan. Saat malam kembali menjelang aku berkumpul bersama keluargaku untuk menonton televisi. Acara TVRI siaran 'Berita Daerah' menjadi acara yang paling ditunggu-tunggu. pada saat Pembaca berita membacakan kejadian kebakaran semalam kami lantas membesarkan volume tv. lalu tampak wajah-wajah yang kami kenali terekam dan terpampang ditelevisi. Saat wak Ibrahim menghadap kamera sambil menerangkan perihal kebakaran aku melihat seraut wajah muncul dibelakang ketua RT kami tersebut. wajah anak kecil berusia dua belas tahun yang tampak tersenyum-senyum sendiri, sambil sesekali melambai-lambaikan tangan kearah kamera. Aku mengenalinya, Kamad! kami sekeluarga lalu tertawa terpingkal-pingkal melihat tingkah konyol dan bodoh temanku itu...untunglah aku tidak mengikuti ajakannya. kalau tidak, pastilah aku juga akan menjadi bahan tertawaan siapapun yang menontonnya...

Titik Jenuh..

Aku mengerjapkan mata berulangkali ketika sinar matahari pagi menerobos masuk melalui kisi-kisi ventilasi. menyilaukan saat sinar-sinar itu menusuk mataku laksana kilatan-kilatan pedang cahaya. Aku menggeliat bangun. Bantal dan kain sarungku entah kemana, sprei alas kasur tak karuan rupanya. acak-acakan. Aku menguap, kantuk yang masih menggelayuti mata seketika sirna ketika suara emak yang berpidato dengan lantang ditelinga terdengar membahana. Suara emakku lantang, bagai seorang orator ulung yang tengah menyuarakan aspirasinya ditengah ribuan khalayak ramai. Menggelegar memekakkan telinga.

"Bujang! bangun! Masya Allah....mau jadi apa kau nanti kalau setiap hari bangun siang?! emak murka. ditariknya sprai lalu dikebut-kebutkan ditepi ranjang. "kau tak lihat matahari telah tinggi? orang sudah kemana-mana mencari rezeki tapi kau masih berkutat dengan bantal dan mimpi...! mengapa kau tak pergi saja ikut kakakmu di jakarta atau di Belitung sana cari kerja..! kalau begini terus-terusan mana mau perempuan dinikahi oleh pemuda pemalas sepertimu...!" emak terus menggerutu sembari menyapu.

Aku duduk ditepi pembaringan, kepalaku pusing. Selalu begitu, setiap pagi emak menceramahiku. Aku bangun dari tempat tidur, menuju kamar mandi. membasuh wajahku lalu menyikat gigi dengan malas-malasan. keluar dari kamar mandi aku menuju meja makan. Dibawah tudung saji hanya kutemui secangkir kopi dingin. "Mak..tak adakah yang bisa kusantap sebagai pengganjal perut pagi ini?" Emak kembali murka mendengar pertanyaanku. "Sana pergi..! beli sendiri diwarung apa yang bisa kau makan..! sergahnya.

Aku menyadari, pagi ini bukanlah pagi yang indah buatku. Emak sedari pagi marah-marah. Demi menghindari ocehan yang tak akan selesai sebelum aku pergi maka kuputuskan untuk langsung angkat kaki. Tersaruk-saruk aku menuju warung. motor-motor berseliweran. Orang-orang lalu lalang. Suara bergemuruh dari pesawat Merpati yang terbang melintas tepat di atas kepalaku membuat kepalaku tambah pusing. AQku menatap nanar. Dunia dimataku saat itu teramat membosankan dan menjemukan. Monoton. dari hari-kehari tak ada sesuatu yang baru yang kutemui.. paling-paling terdengar berita si A diterima bekerja di sebuah instansi, atau si B yang baru saja membeli sebuah sepeda motor. Aku mengeluh, menggerutu karena tak ada perubahan yang baru dari hidupku. Dunia dimata seorang pengangguran memang sangat memilukan, kawan!

Aku menuju warung. Orang-orang banyak berkumpul disitu. dibawah sebatang belimbing asam yang menjadi pangkalan persatuan ojek di tempatku tinggal. Mereka semua kukenal dengan baik. Aku duduk didekat mereka lalu tenggelam dalam obrolan yang tak tentu arah. Mereka tertawa-tawa seolah-olah tak ada yang patut ditangisi dalam hidup mereka, meski kadang nyata kulihat dibalik bola mata dan wajah mereka yang kecoklatan karena terlalu sering terkena sengatan sinar matahari, kepedihan kerap membaerangus leher-leher mereka dalam beban mesti memenuhi kebutuhan hidup dengan susah payah. Ah, aku teramat malu dengan diriku sendiri.

Agusta menepuk pundakku. "Apa yang kau renungkan, kawan?" tegurnya ramah dengan sorot mata jenaka. "Apakah kau berminat menjadi seperti kami? berburu rezeki dengan kuda-kuda besi ini?" katanya kembali sambil menunjuk beberapa motor yang terparkir tak jau dari pohon belimbing, tepat didepanku.

"maksudmu Gus, apakah aku berminat jadi tukang ojek?"
Agusta mengangguk, mengiyakan.
"Aku tak bisa Gus...aku tak memiliki bakat." jawabku sekenanya. padahal aku tahu pekerjaan tukang ojek tak membutuhkan bakat khusus. Cukup bermodalkan sepeda motor dan kemahiran dalam mengendarainya. itu sudah cukup memenuhi syarat. Tapi aku benar-benar tak bisa. Aku malu.

"Apa yang tak bisa bagimu kawan..? kau pasti malu?" Agusta dapat membaca pikiranku. Aku tersenyum tersipu malu.. hambar. "asal halal segala pekerjaan tak jadi soal bung, yang penting kita bisa menghidupi anak-istri, mencari rezeki itu gampang kok asal kita ada kemauan dan tekad. Apa kau tak bosan menjadi pengangguran? menyusahkan orang tua, bangun siang, menghabiskan hari tanpa tujuan. sungguh malang hidupmu kawan! kau kan tahu, mencari pekerjaan yang enak itu sulit apalagi untuk kita yang hanya memiliki ijazah SMA...jangan bermimpi bung..!"

Aku tercenung. Aku ingin marah tapi kurasakan ada nada kebenaran yang terkandung dalam ucapan pria berjaket lusuh itu. Dibalik wajahnya yang jenaka. Dari sorot bola matanya yang berwarna coklat dapat kutangkap makna yang tersirat : "bergabunglah bersama kami kawan...kita dapat menggapai mimpi dengan kuda-kuda besi nan gagah berani ini...yakinlah!

bersambung.....